I Got Your Back Part 5

3 komentar
I Got Your Back [나는당신의뒤를봐]
Part 5


Author                                      : Chindy Agryesti.

Facebook                                 : Chindy Agryyesti Horvejkul

Twitter                                      : @Chindy404

Blog                                         : http://chindyhvk.blogspot.com/

Cast                                         :
  • Cho Kyuhyun
  •    Yoon Haera

Genre                                      : AU!, Romance.

 Rating                                     : PG15

Length                                     : Chapter



Aku pergi karena aku mencintaimu.
Tak perlu aku memilikimu, karena bagiku melepasmu adalah cara mencintaimu.
–Yoon Haera –


Saat kau telah pergi dari hidupku, baru kumengerti apa itu cinta.
—Cho Kyuhyun—

Cinta seperti coklat. Dapat memberikan rasa manis, namun dibalik rasa manisnya yang berlebihan terdapat pula, rasa pahit didalamnya. Bukankah cinta juga seperti itu? Cinta memiliki rasa manis, namun ada pula rasa pahit yang akan kita dapati.

—I Got Your Back part 5—

Begin :



Author POV

“Perlu kau tahu, kau tak sedikitpun berarti bagiku, kau tak lebih dari sebutir debu yang mengotori hidupku!”

“Mungkin kau bisa menerima semua ini, tapi tidak denganku. Bagiku, kau bukan siapa-siapaku, dan kita ini adalah orang asing!”

“Urusi saja hidupmu, jangan pernah pedulikan aku. Sampah sepertimu tak seharusnya masuk dalam hidupku!”

“Jika bisa menjauhlah dari hidupku. Pergilah. Jangan kotori hidupku. Aku benci dengan semua ini!”

“Apa kau tahu satu hal yang paling kubenci didunia ini? yaitu dirimu!”


Tok tok tok ...

Suara ketukan pintu mengembalikan Kyuhyun kealam sadarnya. Ia termangu sesaat, mengulas apa yang tadi ada dipikirannya. Kata-kata kasar menyakitkan seperti tadi yang tanpa disadari pernah terlontarkan oleh bibirnya sendiri. Sungguh. Membayangkan kalimat per kalimat tadi sungguh menyesakkan dan menyakitkan lalu bagaimana dengan orang yang menerima langsung kata-kata tersebut. Seperti luka yang tergores pisau bahkan mungkin rasanya melebihi dari itu. Sakit. Wajar jika orang yang pernah dikatai oleh kata-kata tersebut membenci orang yang berkata-kata demikian? Sakit, terlalu sakit untuk didengar.

Ceklek...

Kenop pintu bergerak, suara decitan pintu telah tercipta. Seorang namja tinggi masuk membawa beberapa lembar map ditangan kanannya. Ia membungkuk sesaat pada sang Presdir lalu menyodorkan map yang dibawanya tadi. “Presdir ini laporan yang anda minta telah selesai,” Lapor Park Tae Hyun, Assistant-nya. 

“Bagus. Letakkan saja disini,” Tunjuk Kyuhyun disisi meja kerjanya. Namja itu meletakkannya ditepi meja, ia membungkuk lagi. Dan mulai membelakangi Kyuhyun, berniat akan beranjak dari ruangan itu. Namun suara berat Kyuhyun menahan langkah sang Assistent ketika akan membuka pintu.

“Tae Hyun-ah...”

Namja itu lantas berbalik menatapi Kyuhyun dengan pandangan meminta penjelasan. Tae Hyun sedikit banyak mengerti apa yang diingikan Presdir-nya. Menggunakan akhiran -Ah pada akhir namanya, Tae Hyun sudah berhasil menerka bahwa pasti sedang ada yang diingini pemimpin Cho Corp itu. Sebab biasanya Kyuhyun selalu menggunakan panggilan formal pada Tae Hyun meski mereka adalah teman, tapi jika dalam urusan kerja mereka tetaplah seorang Presdir dengan Assistent. “Ya ada yang--?”

“Apa kesalahanku sudah tak bisa ditolerir?” 
Lirih Kyu dengan frekuensi suara yang amat minim namun masih terjangkau oleh indera pendengaran Tae Hyun.

“Ndeh?” Park Tae Hyun tersentak dan lantas mengerutkan dahinya. Sedikit pun ia tak mengerti apapun yang tengah dibicarakan Kyuhyun. “Apa maksud Presdir?” 

“Apa kau akan memaafkan orang yang pernah menyakitimu?” Kening namja itu mengerut semakin menjadi. 

“Tergantung apa kesalahan itu? Memangnya siapa yang menyakiti siapa?”

“Ah tidak, kau boleh keluar,” Kepala Tae Hyun menggeleng tidak mengerti. Saat tadi ia akan keluar namun ditahan oleh pertanyaan tidak jelas datang dari Presdir. Lalu saat ini, ketika ia mulai penasaran akan pertanyaan tadi, ia malah dipersilahkan keluar. Terpaksa ia harus menelan bulat-bulat rasa penasarannya. 






Haera POV

“Berikan aku satu Cappucino,”

“Berikan aku satu Coffe latte,” 

Dua kalimat berbeda itu terdengar selaras pada saat bersamaan. Kutorehkan kepala tepat kesamping tubuhku ke sumber suara. Orang disampingku telah lebih dulu menoleh kepadaku. Kedua mata onyx-nya membulat ketika aku menunjukkan wajahku untuk menatapnya. Tak ayal dengan diriku, akupun ikut melebarkan mata. “Haera-ya? Benarkah ini kau?”

“Igeo,” Aku menerima cup berisi Capucino yang ia sodorkan padaku. “Gomawo,” Jawabku. Ia menempatkan diri duduk dibangku putih panjang disebelahku.

“Haera-ya aku senang kita bisa bertemu lagi,” ucap riang Park Soo Yeon. Yeoja ini sama sekali tak berubah. Ia akan selalu mengekpresikan perasaannya tak perduli waktu maupun ruang ia berada. Ia tetap menjadi Seo Yeon, sahabaku yang kukenal. Sama halnya dengan Henry, ia sahabatku sejak sekolah tingkat pertama dulu. Dialah satu-satunya orang didunia ini yang sangat mengerti hidupku. Ia tahu semua seluk-beluk kehidupanku. Tak ada rahasia yang terselip dalam hidupku darinya. Dan harus kuakui sulit bagiku untuk menyimpan rahasia darinya, dia sudah terlalu banyak tahu tentangku. “Nado,” 

***



“Eomma..” Sebuah senyum mengembang dipipi ini. Tanpa harus kuperintah senyum ini selalu tercipta tatkala aku melihat wajah tampannya. Dia selalu berhasil membuatku tersenyum, membuatku melupakan rasa lelahku, menghilangkan setiap kesedihan yang menderaku di hidup ini. Ialah segalanya bagiku, Yoon Jong Hyun. Buah hatiku, malakat kecilku. Entah bagaimana hidupku kini jika ia tak pernah hadir dalam hidupku. Mungkin tersenyum adalah hal tersulit bagiku untuk kulakukan. Senyum dipipi ini takkan pernah tercipta lagi sejak aku mengenal orang itu. Tapi Jong Hyun, putraku mengembalikannya padaku. Ialah sumber senyumku. Jika tanaman membutuhkan air agar dapat tumbuh, maka aku hanya membutuhkan Jong Hyun-ku agar aku dapat tersenyum.

“Eomma, Jong Hyun ingin bermain dengan Eomma. Apa sekarang Eomma sudah tidak pernah ingin menemani Jong Hyun bermain lagi? Apa Jong Hyun punya salah pada Eomma?” Sungutnya manja didalam pelukanku. Lewat tatapan sendunya, dapat kuterka ia pasti sangat merindukanku.

“Kau tidak marah kan karena sekarang Eomma tidak bisa menemanimu bermain lagi? Mian Chagi. Bukan Eomma tidak ingin menemanimu bermain tapi Eomma sangat sibuk.” 

“Tapi Jong Hyun ingin bermain dengan Eomma,” rujuknya seraya menatap lantai putih dibawahnya.
“Arra.. Jika Eomma punya waktu, Eomma pasti menemanimu,” Janjiku.



“....kemudian orang itu pun dihukum setelah raja tahu bahwa ialah yang berbohong dan orang yang satu itu, ia diangkat menjadi seorang pelayan kerajaan. Eomma berharap kelak jika kau telah dewasa nanti, kau harus bersikap seperti raja. Adil dan penuh kearifan. Jangan pernah jadi orang yang mudah terpengaruh oleh siapapun. Keyakinan hati tidak akan pernah salah.” Aku menutup buku dongeng yang kupegang selesai aku membacakannya untuk Jong Hyun. Kedua manik hitamku bergerak kearah namja kecil disisiku dan mendapati namja kecil ini telah tertidur dengan damai. Kutarik selimut bermotif robot ini dan menempatkan diatas tubuhnya. Menutupinya hingga batas leher. Tanganku bergerak mengusap kening hingga kerambut hitamnya. 3 detik bibirku berdiam diatas keningnya. Mengecupnya lembut untuk menyalurkan semua kasih sayangku. Aku ingin dia tahu bahwa aku sangat sangat menyayanginya. Aku tidak akan pernah rela jika aku harus kehilangannya.

“Kau tahu, Eomma sangat.. menyayangimu. Eomma tidak ingin sedetik pun menjalani hidup ini tanpamu. Kau terlalu berharga bagi Eomma,” Sekali lagi, aku mengecupnya keningnya lalu kemudian meninggalkannya dialam mimpi
.

“Eoh.. Eomma?” Aku menatap heran pada Eomma yang tengah berdiri didepan pintu kamar Jong Hyun. “Sudah lama kita tidak mengobrol bersama? Lalu aku dan Eomma duduk bersama diruang tengah.

“Akhir-akhir ini kau pasti sangat sibuk.” 

“Mian. Karena Eomma pasti kau sangat lelah,” Belum sempat aku membalas pernyataannya yang pertama dan Eomma sudah melontarkan pernyataannya yang kedua. “Gwaenchana,” Balasku dibumbui senyum untuk meyakinkan Eomma bahwa itu bukan salahnya lagi pula aku tak keberatan melakukan apapun untuknya.

“Haera-ya, sebelum Eomma menyampaikan maksudku. Bolehkah Eomma bertanya?” Aku mengganguk.

“Apa ada orang yang lagi kau cintai saat ini?” Tatapanku yang awalnya tepusat pada gelas berisikan coklat yang kupegang langsung teralihkan menatap wajah Eomma. Aku memaksakan senyum terkejutku.

 “Wa-wae? Kenapa Eomma membicarakan ini tiba-tiba?” tanyaku balik dengan cukup terbata.

“Eomma hanya berpikir, sudah saatnya kau mempunyai seseorang yang bisa menjagamu dan Jong Hyun.”

“Ta-pi Eomma..”

“Kau ingin mengatakan lagi bahwa kau sudah senang dengan hidupmu saat ini?” 





Author POV

Nyonya Hwang mudahnya dapat menebak dengan tepat alasan yang akan digunakan Haera –lagi—. Ini bukanlah yang kali pertama Nyonya Hwang menanyakan Haera mengenai topik menikah. Dan juga ini bukan kali pertamanya Haera menggunakan alasan yang sama. Haera hanya dapat menunduk. Apa yang harus ia jawab, ia tak tahu. “Pikirkan tentang itu dan jangan hanya terfokus pada perusahaan. Pikirkan juga hidupmu,”

“Kau tidak berniat untuk menghabiskan seluruh hidupmu untuk bekerja kan? Dan jika alasanmu karena kau telah bahagia dengan hidupmu saat ini, Eomma bisa menerimanya. Tapi kau tetap butuh pendamping Haera-ya. Kau butuh seseorang yang bisa melindungimu, menjagamu, menemanimu. Bukankah kau pernah bilang, bahwa kita ini sama. Kita sendiri didunia ini. Maka itu, kau butuh peneman hidup yang bisa menemanimu, saat aku tak lagi didunia yang sama denganmu. Aku tak ingin melihatmu sendiri lagi didunia ini.”

“Eom..ma kenapa kau bicara seperti itu?”

“Eomma hanya ingin kau tidak sendirian didunia ini sekalipun kau telah memiliki Jong Hyun. Walaupun demikian ia adalah anakmu, ia bukan orang yang bisa kau jadikan tempat tuk berbagi. Dia anakmu, terlebih lagi setelah ia dewasa, ia berhak memiliki hidup dengan istrinya kelak. Lalu kau? Kau akan bersama siapa jika anakmu telah mempunyai hidupnya sendiri?” Diam. Hanya itu yang dilakukan Haera. Semua perkataan Nyonya Hwang benar, tak ada sedikitpun kesalahan dalam ucapannya tadi. Haera menyadari itu semua, namun sebisa mungkin ia menyanggahnya. Ia memiliki hipotesa tersendiri dan akan tetap berpegang teguh pada hipotesanya. Baginya sendiri lebih baik dari pada apapun. Bahkan jika ia boleh menentukan pilihannya sendiri, ia lebih memilih sendiri didunia ini selamanya. Luka dulu yang tercipta belum juga sembuh dan ia tidak ingin memperdalam luka itu. Ia takut rasanya akan semakin sakit.


***


“Haera-ya akhirnya kau datang juga. Ku kira kau tidak akan datang,” Ucap riang yeoja bergaun putih nan indah itu. Haera mengulum senyum. “Aku pasti datang. Ini hari penting bagimu, mana mungkin aku tak datang,”

“Gomawo nae chingu,” Keduanya lantas tertawa. “Ayo kita berfoto,” Park Seo Yeon, yeoja bergelar ratu untuk hari ini menarik lengan Haera agar duduk disofa bersebelahan dengannya. Sang photografer telah mengangkat kamera dan memposisikan kamera mengarah kedua yeoja cantik diseberangnya. Haera dan Seo Yeon tersenyum menghadap kamera, tak lama blitz kamera pun telah tercipta. 

Haera menoleh pada orang-orang yang baru memasuki ruangan, beberapa yeoja sebaya dengannya telah mengubah suasana tempat kini Haera berada. Yeoja-yeoja itu dengan riang memberikan ucapan selamat pada sahabat Yoon Haera itu. Mereka adalah rekan sekantor tempat Seo Yeon bekerja. Lantas Seo Yeon memperkenalkan Haera dengan para rekan kerjanya sebelum Haera pamit keluar dari ruangan dan menuju tempat resepsi. Ketika akan keluar, sekilas Haera melirik wajah sahabatnya yang tampak bahagia melalui hari yang bersejarah ini. Senyum tak pernah pudar dari wajah cantiknya. Rona kebahagiaan terpancar jelas memenuhi dirinya. Menyaksikan kebahagiaan sahabatnya, Haera ikut tersenyum. Tapi hatinya sulit untuk tersenyum. Bukan karena ia tidak bahagia, malah ia amat bahagia bisa melihat sahabatnya menjalani hidup dengan kebahagiaan. Hanya saja, rasa iri itu muncul tanpa diharapnya. Iri? Ya, yeoja itu iri sebab ia hanya bisa menjadi penonton atas kebahagiaan orang lain. Dulu.. Ia pernah berada diposisi Seo Yeon namun ia tidak dapat merasakan apa yang dirasakan sahabatnya saat ini. Ia senang, sahabatnya tidak merasakan apa yang pernah dialami olehnya. Setidaknya namja yang akan dinikahi sahabatnya itu, bukan hasil pilihan orang lain. Sebab ia tidak ingin ada orang lain merasakan yang pernah ia rasakan, cukup hanya dia.


Yoon Haera menempatkan bokongnya di salah satu dibarisan tamu, menghadap altar. Lonceng berbunyi, memberi kode bahwa peresmian kedua anak manusia itu akan dimulai. Para tamu telah mengambil posisinya masing-masing dan suasana menjadi lebih tenang dibanding sebelumnya. Sebelum sepasang sang pempelai keluar, sedikit banyaknya sang pastur berkhotbah diatas altar terlebih dulu. Hingga waktunya, sang pempelai laki-laki memasuki altar seorang diri yang kemudian disusul Park Seo Yeon bersama sang Appa.


Skip >>>


Acara pemberkatan atas bersatunya sepasang manusia itu berlangsung lancar. Para hadirin bangkit berdiri dan memeriahkan dengan suara riuh tepuk tangan. Yeoja bernama Yoon Haera, lagi tersenyum. Namun tidak dapat dikatakan itu senyum bahagia melainkan senyum kecut.
Pikirannya melayang, layaknya sebuah rekaman, kenangan-kenangan akan waktu itu berputar mulus dibenaknya. Kilatan - kilatan moment indah nan menyedihkan memenuhi memorinya. Ia tersenyum menertawakan dirinya sendiri. Akibat pemikiran bodohnya berandai-andai mengulang pada saat itu. “Andai saat itu kami saling mencintai,”  “Andai dia tidak membenciku..”  “Andai dia bisa menerimaku dan kenyataan itu..”  Tetapi itu semua hanyalah pengandaian. Ada perwakilan kata Andai diawalnya. Andai, andai, dan andai. Itu semua hanyalah harapan. Semua telah terlewati dan jauh dari yang ia andai-kan.





Kyuhyun POV

“Chukae hyung...” Ucapku sembari mengulurkan tangan yang langsung disambut hangat olehnya. Aku memberi ucapan selamat pada salah satu hyung-ku yang tengah berbahagia saat ini. “Ye gomawo Kyu, kukira kau tidak akan datang,” 

“Mana mungkin aku tak datang,” Seruku diiringi kekehan kecil. “Selama ini aku baru sadar, ternyata kau tampan juga Hyung.” Gurauku disela obrolan ringan kami. Siwon Hyung beserta istrinya tertawa.

“Pantas saja Seo Yeon-shi kau mau menikahi hyung-ku ini. Yah meski tak dapat menandingi ketampananku,” Lanjutku lagi. “Aishh.. Bocah ini,” Geramnya. “Dari pada kau terus menggodaku lebih lagi baik pikirkan kapan kau akan menyusul kami.” Seulas senyum getir langsung  terbentuk. Hhh! Menikah? Dengan siapa? Bukan aku tidak ingin melakukannya, hanya saja.. 

“Lihat disini banyak yeoja cantik yang bisa kuperkenalkan padamu,” Sambung Choi Siwon sambil meniti kesekeliling ruangan. Aku memandang sekeliling dengan malas dan tanpa minat. Bagaimana bisa aku tertarik dengan yeoja lain jika didalam hati ini telah sepenuhnya ditempati olehnya. Bahkan 1000 yeoja cantik dihadapanku, aku tidak akan tertarik jika salah satunya bukan dia. Hanya dia, cuma dia, satu yang kuingini. Percuma saja bukan?  Seluruh hati dan pikiran ini telah mendarah daging dengan bayangan dirinya. “Oppa, aku ingin menemui teman-temanku. Permisi Kyuhyun-shi..” Pamitnya. 


Siwon hyung beserta diriku menoleh kebelakang kami, tatkala satu suara menyebut namaku dan juga nama pengantin namja disebelahku ini. Namja bertuxedo hitam dengan gagahnya melangkah menghampiri kami. 

“Wah.. Kau mendahuluiku Siwon-ah..” Ujar orang itu sesaat sudah bergabung dengan kami. “Hei Tuan Cho, nampaknya semakin hari kau semakin sibuk saja hingga sulit untuk menemuimu,” Ia tertawa renyah. Begitu pun denganku. “Ah ngomong-ngomong chukae Tuan Choi..” Lee Donghae, hyung-ku yang satu ini kembali berucap. “Dimana Nyonya Choi-mu?”

“Dia sedang menemui teman-temannya. Itu dia,” Mengikuti arah tatapan Donghae Hyung ke belakang tubuhku, lantas aku berbalik. Choi Seo Yeon berjalan anggun kearah kami. Aku membeku. Yang membuatku membeku bukanlah hal lain, selain yeoja yang tengah berjalan beriringan disebelah Seo Yeon, istri Siwon Hyung.. Pandanganku seolah terkunci. Tak ada ruang jeda bagi mata ini meski hanya untuk melirik sekitarku. Wajah terkejut dilemparkan melalui tatapannya padaku. “Chukae Nyonya Choi,” Suara berat Donghae Hyung memotong keterkejutanku sekaligus kebisuanku. Aku melempar pandangan kelantai putih sebelum kembali menatapnya. “Ye Gomawo Donghae-shi. Perkenalkan ini adalah sahabatku, Yoon Haera. Haera-ya, ini Siwon Oppa, Cho Kyuhyun, Lee Donghae. Oppa, dia yang pernah kuceritakan padamu, sahabatku sejak Sekolah menengah,”

“Eo. Anneyong haseyo. Choi Siwon imnida,” Yeoja itu membalas uluran tangan Siwon hyung dan menjabatnya beberapa detik sembari membalas ucapan Choi Siwon, “Anneyong haseyo, Yoon Haera imnida.” Setelah Donghae Hyung melakukan hal yang sama dengan Siwon Hyung, giliranku bertindak memperkenalkan diri.  Namun sebelum aku memulainya, ia lebih dulu memperkenalkan dirinya. “Yoon Haera imnida,” katanya datar. Sangat datar.





Haera POV

Tubuhku berbalik ketika kumerasakan seseorang tengah memegang punggungku. Ternyata dia yang menghampiriku. Sahabatku yang serba tahu ini. Seo Yeon. “Eoh? Kau.. Chukae Park Seo Yeon ah ani Choi Seo Yeon,” Kulihat ia tampak tersipu. Choi. Choi Seo Yeon, nama yang indah. Bukan sebab marganya yang indah ataupun bagus. Satu hal yang membuat sebuah nama itu menjadi begitu indah. Tak lain dan tak bukan yaitu bisa menyandang marga orang yang kita cintai. Yoon Haera? Akankah suatu saat nanti margaku berganti? atau selamanya akan tetap menjadi Yoon? Menyandang marganya? Sepertinya bukan hal yang akan pernah terjadi. Pasti sudah ada seseorang yang telah menyandang marganya. Tentu orang yang diharapkan olehnya. 
Apa kini aku tengah berharap atau aku tengah bermimpi? Tidak salah bukan jika aku berharap ataupun bermimpi? Setiap orang mempunyai mimpi, dan mungkin itulah mimpiku. Mimpi yang hanya akan terjadi didalam tidurku saja. Mimpi yang tak seharusnya kuimpikan. Konyol memang, aku sudah tau tidak seharusnya aku membayangkan hal demikian terjadi, tapi perasaan dihati ini selalu menang atas diriku.

Yoon Haera! Sadarlah! Tidak seharusnya aku berpikiran hal tidak wajar seperti itu. Bodoh, aku terlalu bodoh memang, rutukku. Menjalani hidup dengan realistis itulah yang perlu kulakukan, bukan berkhayal, berharap ataupun bermimpi ditengah bolong seperti ini. 

“Hyaa.. Kenapa melamun?” Seo Yeon menyenggol lenganku, membawaku kealam sadar. Mengenyahkan pemikiran-pemikiran bodoh itu. “Ah aniyo,” Aku menyanggah. “Kau belum pernah berkenalan dengan suamiku secara resmi bukan? Kajja, aku akan memperkenalkanmu padamu,” Tanpa menunggu persetujuanku, Seo Yeon langsung menarik tubuh ini meninggalkan tempat kami berdiri. Ia menyeretku menuju segerombolan namja bertuxedo hitam. Dari masing-masing punggung para namja itu, dapat kuterka mereka bukanlah orang 'biasa'. Punggung ketiga orang itu tegap nan gagah dengan potongan rambut yang cocok dengan postur tubuh mereka. Tubuh mereka tertutupi oleh tuxedo hitam yang kuyakini harganya jauh dari kata murah. Hanya tinggal mengayunkan kaki beberapa langkah lagi untuk dapat menghampiri mereka. Tetapi belum aku dan Seo Yeon sampai ditempat mereka berdiri, ketiga namja itu telah lebih dulu memutar tubuh melemparkan tatapan kearahku serta Seo Yeon. Bola mata ini tiba-tiba terasa kaku, sulit untuk digerakkan. Begitu juga dengan tubuhku, aku tak yakin aku masih bisa mengayunkan kaki. Jika saja, Seo Yeon tidak terus menarikku, mungkin aku telah berdiri diam menjadi patung. “Chukae Nyonya Choi,” Ucapan selamat untuk sahabatku mengalir dari bibir satu namja dari ketiga orang disana. Seo Yeon tersenyum dan membalas uluran tangan namja yang baru.pernah kutemui hari ini,

“Ye Gomawo Donghae-shi. Perkenalkan ini adalah sahabatku, Yoon Haera. Haera-ya, ini Siwon Oppa, Cho Kyuhyun, Lee Donghae. Oppa, dia yang pernah kuceritakan padamu, sahabatku sejak sekolah menengah,”

“Anneyong haseyo Choi Siwon imnida,” Aku membalas uluran tangannya. Dan balik memperkenal diri, “Ye Anneyonghaseyo, Yoon Haera imnida,” Balasku. Aku melakukan hal yang sama pada namja yang bernama Donghae seperti yang tadi disebutkan Seo Yeon.

“Lee Donghae imnida,” Ucapnya. Tersisa satu orang disana. Orang itu.. “Yoon Haera imnida,” Sambarku memulai perkenalan ini lebih dulu. Tak sampai 2 detik, aku buru-buru melepaskan sentuhan jemarinya dijemariku. Tanpa kutahu apa sebab dan alasannya, tiba-tiba aku ingin mengeluarkan cairan dari mataku. Aku ingin menangis. Menangisi sesuatu yang tak kutahui. Jika aku berkata, aku ingin menangis karena aku sangat mencintainya, apakah boleh? Apa boleh, jika aku tidak pernah ingin melepaskan tangannya. Aku ingin selalu menggenggamnya. Terdengar egois memang. Apa bisa aku melakukannya? Jawabannya tentu tidak. Harus bagaimana aku meyakini diri ini bahwa ia tidak pernah mengharapkanku. Dia membenciku. Aku adalah sampah baginya, aku debu yang mengotori hidupnya. Aku bukanlah siapa-siapa, aku tak sedikitpun berarti untuknya. Maka itu, aku tak boleh lagi berharap padanya. Tak seharusnya aku masih menyimpan rasa ini. Aku benci diriku! Aku benci perasaan ini. Aku benci kenapa aku bisa menjadi orang bodoh. Aku lelah menjadi orang bodoh. Aku ingin mengakhiri kebodohanku tapi itu terlalu sulit untukku lakukan.

Sepertinya bukan hanya sepertinya, tapi aku memang harus pergi dari kumpulan sahabat suami Seo Yeon ini. Tidak terlalu baik aku terus-terusan bergabung dengan mereka. Hati ini tentu tak bisa dikatakan baik-baik saja. Cukup mendengar namamya, hatiku sudah tak baik apa lagi jika dihadapkan dengannya berlama-lama. Enyah dari sini mungkin pilihan paling baik.

 “Permisi aku ingin ke suatu tempat,” Pamitku.

“Eoddi?” Cegah Seo Yeon.

 “Eugh.. Aku ingin ke toilet,” Jawabku asal.

“Oh baiklah.” Aku bergegas mengayun kaki tanpa bertele-tele lagi. Melangkah meninggalkan mereka.

“Haera-ya..” Langkahku lantas terhenti, saat satu suara tak asing menyebut namaku. Suara itu berhasil menahan kakiku dan membuatku membalikkan tubuh. “Ohh.. Henry-ya..” Balasku menyebut nama orang yang tadi memanggilku. Ia tersenyum, dan kakinya maju beberapa langkah tadi tempatnya berdiri kearahku.

“Kau juga datang?”

“Tentu. Seo Yeon sahabatku, bagaimana mungkin aku tak datang.”

“Ahh.. Tak seharusnya aku melupakan hal itu. Kau datang sendiri?” Aku mengangguk.

“Memangnya mau datang dengan siapa?” Sahutku dibuahi senyuman.





Author POV

“Memangnya mau datang dengan siapa?” Balas Haera. “Harusnya kau menghubungiku saja, sehingga kita bisa berangkat bersama,” Henry berujar.

“Tak ada bedanya, kita berangkat bersama ataupun terpisah. Toh akhirnya kita juga tetap bertemu disini,”

“Kau ini.. Selalu saja pintar mengeles. Kau tak pernah berubah.”

Berubah? Tidak pernah berubah? Namja itu benar, Haera sama sekali tidak pernah berubah. Yeoja itu masih seperti dulu. Haera yang dulu ataupun yang sekarang masih tetap sama. Dan akan selalu sama. 

“Setelah ini apa kau ada acara?” 

“Eum.. Waeyo?”

“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Sudah lama bukan kita tidak menghabiskan hari bersama?” 

Saat Sekolah dulu, Haera, Seo Yeon, dan juga satu namja tampan itu, mereka tak jarang bahkan sering melewati hari bersama. Bagi Haera yang sebatang kara, hanya kedua sahabat itulah yang ia punya. Dan sepertinya hari ini mereka ingin mengulang hari-hari itu minus Seo Yeon. Karena tidak mungkin bukan Seo Yeon meninggalkan pesta pernikahannya untuk acara jalan-jalan yang diadakan oleh Haera dan Henry.


***



Haera menatap heran jalan yang dilalui oleh mobil Henry. Bola matanya berkeliling memperhatikan jalan yang ia rasa dulu pernah ia lewati. Kini giliran matanya menatap namja disebelahnya yang sibuk dengan stir mobil. “Sepertinya jalan ini tak asing bagiku. Kita akan kemana sebenarnya?”

Rasa penasaran Haera akhirnya tersuarakan juga. Ia amat penasaran. “Ingatanmu tak seburuk yang kukira. Kau hanya perlu diam dan nanti kau pasti tau tujuan kita,”

Selang waktu tak berapa lama, mobil yang dikendarai Henry telah terhenti disebuah gedung besar bertingkat dengan pagar halaman yang menjulang tinggi dan halaman yang terbilang sangat luas. Seakan baru terbangun dari tidurnya, Haera baru sadar. Tempat inilah yang dituju Henry.
Ini adalah sekolahnya. Seoul Senior High School. Tempat dulu ia menuntut ilmu, tempat dimana yang mempertemukan Haera dengan sahabat didepannya ini. 

Baru-buru Haera enyah dari dalam mobil lalu berdiri menatap gedung tinggi nan angkuh didepannya. Disusul Henry yang keluar dari mobil kemudian ikut berdiri disebelah Haera. 
“Kau ingat saat hari pertama aku bersekolah disini? Semua tak ada yang mau menyapa atau menegurku karena mereka yakin aku tak mengerti bahasa Korea. Hanya kau dan Seo Yeon akhirnya yang mau menyapaku dengan bahasa Korea,” Haera tersenyum mengingat kejadian saat lampau itu. Saat mereka masih berstatus sebagai pelajar ditempat ini.

“Ne. Aku ingat. Dulu kau sangat pendiam. Kau tak akan berbicara terlebih dulu sebelum ada orang yang mengajakmu berbicara.” Giliran Henry yang tertawa. Pikirannya ikut menerawang ke masa itu. “Benar, karena aku takut mereka sulit memahami bahasa Korea-ku yang belum lancar saat itu. Hanya manusia aneh macam kau dan Seo Yeon yang dapat mengertiku,”

“Aneh? Kupikir itu bukan suatu keanehan tetapi, itu sebuah kelebihan. Dapat memahamimu dengan baik, itulah kelebihanku dan Seo Yeon,”
“Kau ini... Kajja, kita masuk saja,”


“Kau ingat, disini biasanya kita mengerjakan tugas,”

“Dan disini juga, kau mengajariku bahasa mandarin,” Sambung Haera.

Mereka duduk disebuah bangku taman yang letakknya di bawah pohon mapple yang daunnya begitu lebat bahkan sampai sekarang. Disini mereka bisa merasakan kerindangan pohon yang amat teduh dan sejuk ditambah pula terpaan angin yang berhilir secara tertatur. Keteduhan yang diberikan oleh pohon tua ini, tak berubah sedikitpun. 

“Aku merindukan semua ini. Sekolahku, teman-temanku, sahabat-sahabatku, guru-guruku dan juga pohon baik hati ini. Aku sangat merindukan semua yang ada disini,” Ungkap Haera disela-sela keheningan mereka. Saat ini, hanya suara gemeresik daun-daun bergoyang akibat terpaan angin yang terdengar.

“Kau bilang pohon baik hati? Apa itu?”

“Pohon ini,” Tunjuk Haera.

“Maksudmu?”

“Menurutku pohon ini amat sangat baik hati. Ia dapat melindungiku dari terik matahari sehingga aku tak harus kepanasan, pohon ini dapat memberikanku kesejukan, dan juga suara daun-daunnya tatkala tertiup angin itu sangat menenangkan. Disini aku juga bisa merasakan hembusan angin dengan teratur walaupun hari sangat terik. Lihat bukankah begitu?” Dengan bahasa tubuhnya, Haera menggerakkan dagu menunjuk pancaran sinar matahari yang menyinari tanah dengan sangat terik.

“Bukankah pohon ini sangat baik? Padahal ia hanya benda mati tapi ia sudah seperti pelindung bagiku,” tuturnya.

“Jika saja aku bisa menikahi pohon ini tentu aku akan menikahinya. Dia bisa melindungku, setidaknya aku tidak perlu takut akan panas matahari. Benar kan?”

Menikah, melindungi. Ada makna tersembunyi dibalik ucapannya tadi. Makna yang mungkin hanya ia sendiri yang tahu apa makna dari kalimatnya itu.

“Baik. aku akan berusaha menjadi seperti pohon itu untukmu,” Gumam seseorang dibalik dinding dekat tempat Haera dan Henry berada. Seseorang yang tentu tidak diketahui oleh kedua sahabat itu.




Kyuhyun POV

Sang surya telah beranjak pergi meninggalkan seisi bumi. Kegelapan dengan merata memenuhi jagad raya. Malam ini, kegelapan amat pekat. Warna hitam malam menjadi penyugu untuk malam kali ini. Tak ada benda langit yang hadir meski sekedar untuk menghiasi malam ini. Langit kosong. Tak berisi. Yang ada hanyalah gumpalan awan hitam dibumbui dengan hembusan angin tak beraturan. Sesekali, terdapat kilatan cahaya dilangit gelap. Tapi aku masih terus mengayunkan langkah, tetap mengikuti jejak langkah kakinya. Seorang yeoja didepanku, saat ini ia menjadi sorot bagiku. Aku terus mengikuti kemanapun ia pergi hingga detik ini, aku berjalan seorang diri hanya untuk tetap dapat melihatnya. Kurasa aku tak berbeda dengan seorang penguntit maupun seorang mata-mata. Sejak hari masih terang hingga berganti malam, aku belum juga mengakhiri aktivitasku membututinya. 

Tess.. Tess..

Tetesan air jatuh dikepalaku. Sensasi dingin kurasakan tatkala tetesan air itu menembus baju yang kugenakan. Kepala ini terdongak menatapi tetesan yang menyerbu kian membanyak. Pikiran tertuju pada yeoja itu. Kulihat Ia dengan cepat berlari menuju halte bis yang berjarak tak jauh darinya. Begitupun dengan diriku, aku memilih berteduh disebuah teras toko dibelakang halte bis tempatnya berdiri. Dibawah rinai hujan, aku berdiri dengan pandangan terpusat memandangi punggungnya. Ia duduk dikursi panjang sana sembari bersedekap tangan. Pasti ia kedinginan. Hingga saat ini, Hujan tak kunjung reda, malah semakin lebat. Dan petir saling bergema seakan tengah bersahut-sahutan. 

Kilatan putih disusul suara menggelegar mengagetkan siapapun yang mendengarnya. Tepat saat suara petir itu, yeoja dihalte bis itu menutup telinganya lalu merunduk. Aku tahu, ia pasti ketakutan. Kekhawatiranku terhadap yeoja itu lebih besar dari apapun itu. Aku berlari menembus deraian hujan tanpa berpikir dua kali. Jarakku sudah tak sejauh tadi dan kini sangat jelas kulihat bahwa tubuhnya kini bergerak karena bergetar. Kulit putihnya berwarna semakin putih, tapi itu bukan putih yang sewajarnya. Ia pucat. 

Segera, aku melepaskan tuxedo hitam yang menempel ditubuhku, dan meletakkan pada punggungnya. Sepertinya ia baru menyadari kehadiranku dan menoleh. Ekspresi terkejut ia tujukan padaku. Tak ada sepatah kata yang terucap dari bibirnya, tapi melalui tatapan matanya, aku sudah tau ia terkejut akan kehadiranku disini. Masih dengan wajah terkejutnya, ia berdiri. Dan berniat melepaskan jas yang tertanggal dipunggungnya. Namun segera, aku menahannya. “Jangan. Kau pasti kedinginan,” Tukasku ragu.

“Gwaenchana!” Sahutnya datar nan dingin. Lagi, ia akan melepaskan tapi aku menahan tangannya.

“Kau kedinginan! Apa susahnya hanya menggenakan itu?” Tanpa kusadar intonasi bicaraku meninggi dari sebelumnya.

“Tapi aku tidak membutuhkannya!” Ia dengan kasar menghempaskan tanganku kemudian melepaskan tuxedo-ku. Detik selanjutnya, ia berjalan cepat meninggalkanku dihalte bis. Ia berjalan setengah berlari menjauhiku, menerobos hujan yang belum juga reda. 





Haera POV

Jangan! Jangan! Kau jangan bersikap baik padaku. Andwae! Tidak boleh! Kau tidak boleh baik padaku! Jebal..
Lebih baik kau mencakiku, menghinaku, memakiku, itu akan sangat lebih baik untukku. Tapi kumohon, jangan pernah bersikap baik padaku. Jangan terus menyiksaku. Berhentilah! Kumohon berhenti menyiksaku. Aku lelah. Aku sangat lelah. Jangan buat aku semakin sakit akibat perasaanku sendiri. Jebal. Jangan buatku semakin mencintaimu, aku sakit. Hatiku lelah. Aku tidak ingin hidup dibayangi perasaan ini, itu membuatku terluka. Aku ingin melupakannya. Aku ingin Menghapusnya dari hidupku. 


Bersamaan dengan air hujan, air bening bersumber dari mataku bercampur menjadi satu membasahi pipiku. Aku menangis? Sebenarnya tak ada alasan bagiku untuk menangis, tapi air mata ini tak kian berhenti. Dan hujan pun seolah sedang merasakan hal yang sama dengan diriku, air langit itu terus-terusan mengalir dari atas. Semampu tubuhku, aku tetap melanjutkan langkah. Pipiku masih terus terasa hangat, memangnya air hujan mana yang rasanya hangat? Ialah cairan yang berasal dari pelupuk mata ini. Mataku masih terus menghasilkan cairan crystal itu dan tak ada tanda-tanda kapan mata ini bisa berkompromi denganku. 

“Eomma... Kenapa? Kenapa aku harus mengenalnya? Kenapa ia harus muncul dihidupku? Kenapa aku harus mencintainya? Kenapa harus dia yang aku cintai? Kenapa, kenapa, dan kenapa? Kenapa Mencintainya begitu menyakitkan?” Gumamku tak karuan. Jemari sebelah kiri meremas dadaku, semuanya terlalu sakit disini. Kakiku lemas, langkahku pun terhenti. Aku memandangi tetesan hujan yang lambat laut jatuh lalu hilang ditelan tanah. Akan lebih jika hidupku seperti air hujan itu. Tercipta untuk memberikan kesejukkan meski setelahnya akan menghilang diserap oleh tanah. Itu lebih baik.

“Eomma.. Bantu aku melupakannya,” Lagi aku bergumam sebelum melanjutkan lagi langkahku. Namun tubuh ini memaksaku berbalik ketika sesuatu menahan lenganku. Dengan kekuatan minim ditubuhku, aku tergerak mengikuti pergerakan tubuh.

“Neo pabboya?! Kau bisa sakit!” Kata orang itu. Kuarahkan bola mata ini menatapnya dengan tak ingin.

 “Itu bukan urusanmu!” Lirihku. Aku melepaskan tanganku dari cengkramannya. Berbalik, lalu memulai langkah. Namun sekali lagi tubuhku berbalik bahkan terhuyung kebelakang. Kumerasa ada kehangatan menyelimuti tubuhku ditengah kedinginan ini. Aku sadar keadaanku sekarang. Ia memelukku. Tubuhku membatu seketika. Diam, tak membuat pergerakan sekecil apapun. Tubuh ini terlalu shock. Tanpa seijinku, air mata semakin derasnya terjun melewati pipiku. “Lepaskan!” Tukasku singkat.



Author POV

Permintaan Haera nampak tak dihiraukan sedikitpun oleh namja tampan itu. Kyuhyun tak bergeming, ia terus mendekap tubuh Haera didalam pelukannya. Hingga membuat Haera harus kembali mengerluarkan suara dinginnya. Yeoja itu terlalu lemas meski sekedar hanya untuk memberontak. Energinya seolah terkuras habis seperti baru menyelesaikan aktivitas berat. Padahal jika dipikir, hanya menangis yang ia lakukan. Tapi aktivitasnya itu mampu membobol semua energinya. “Lepas..” Kali ini suaranya kian lirih dibanding sebelumnya. Kyuhyun tetap tak bereaksi. Kesabaran Haera kian menipis, ia pikir ia bisa meminta namja itu baik-baik agar melepaskannya. Tapi itu tak seperti yang Haera harapkan, namja itu berlaku seperti ia orang tuli. Dan itu berhasil membangkitkan kegeraman yeoja cantik itu. 

Yoon Haera mendorong tubuh besar itu menjauh dari tubuhnya disisa-sisa energi yang ia miliki. Haera menatap geram manik hitam Kyuhyun. “Sebenarnya apa yang kau ingini dariku?” 
Hanya tatapan sendu yang Kyuhyun layangkan pada yeoja didepannya. Kyuhyun bungkam. Tidak ada tanda-tanda Kyuhyun akan mengeluarkan suaranya, Haera telah membalikkan tubuh. “Aku ingin kau memaafkanku,” Langkah yang tercipta dari kaki jenjang Haera, lagi - lagi harus tertahan. Haera memejamkan matanya, bersamaan dengan meluruhnya air mata yang sejak tadi ia tahan didepan namja yang ia cintai. “Tak ada yang perlu dimaafkan,” Haera menyambung langkah yang tadi sempat tertunda. “Jebal.. Jangan mengacuhkanku. Itu sangat menyakitkan bagiku,” Pendengaran Haera masih dapat menangkap ucapan orang itu, tapi ia memilih tak menghiraukannya. Hatinya sakit berhadapan lebih lama lagi dengan Cho Kyuhyun.

 “Saranghae!” Satu kata itu sukses membuat Haera ragu untuk melanjutkan langkahnya lagi. Tubuhnya seolah tertahan, Seakan ada yang menyuruhnya untuk diam. Tapi jiwanya tak ingin terpengaruh oleh apapun. “Kau berbohong! Aku tahu itu,” Ungkap Haera didalam batinnya. 




To Be Continue..

Perhatian sebelumnya, untuk part selanjutnya mungkin akan lebih lama lagi. Tapi kuharap, kalian tetap menunggu FF abal-abalku ini.

Sebelumnya, mian ne kalau ada typo mengganggu mata.

Anneyong..


 

Chindy Agryesti Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting